Langit Bumi Baru: Transfigurasi, Sabbath, Shekinah, dan Persahabatan sebagai Pengalaman Penderitaan.



Sabbath, dalam konteks kisah penciptaan, merujuk pada hari ketujuh ketika Tuhan beristirahat setelah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Istirahat ini bukan berarti Tuhan kelelahan, melainkan sebuah penegasan tentang pencapaian dan kesempurnaan ciptaan-Nya. Pada hari itu, Tuhan melihat bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya sangat baik. Sabat menjadi simbol keutuhan dan ketenteraman ciptaan, di mana Tuhan berkenan untuk beristirahat, memberi makna bagi umat manusia untuk mengingat dan menghormati waktu, serta memulihkan diri dalam persekutuan dengan-Nya.

Shekinah adalah konsep yang menggambarkan bagaimana Allah hadir dalam ruang dan waktu. Dalam tradisi Yahudi, Shekinah merujuk pada kehadiran Tuhan yang nyata di dunia, terutama dalam bentuk yang dapat dirasakan oleh umat-Nya. Kehadiran Allah ini tidak terbatas oleh ruang atau waktu, tetapi hadir di tengah umat, memberkati mereka dengan cahaya dan kemuliaan-Nya. Shekinah mengingatkan kita bahwa Allah tidak hanya hadir di tempat-tempat tertentu, seperti Bait Suci, tetapi juga ada dalam setiap aspek kehidupan kita, memelihara dan membimbing umat-Nya di sepanjang sejarah.

Konsep langit dan bumi baru dalam teologi Kristen mengarah pada pemahaman bahwa kosmos ini tidak akan dihancurkan, tetapi akan mengalami transformasi. Ini menggambarkan sebuah pembaruan besar, di mana segala sesuatu akan dipulihkan dan disempurnakan dalam kerajaan Allah. Langit dan bumi yang baru melambangkan keselamatan dan pemulihan yang akan datang, saat Tuhan membuat segala sesuatu menjadi baru, menyatukan ciptaan-Nya dalam kedamaian dan kesempurnaan. Transformasi ini membawa umat manusia dan seluruh ciptaan kembali kepada keadaan asalnya, seperti yang dimaksudkan Tuhan sejak awal penciptaan.

Relasi perichoresis menggambarkan hubungan yang saling mendiam antara Allah dan manusia. Dalam teologi Kristen, perichoresis merujuk pada persekutuan yang intim dan penuh saling berinteraksi antara Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Konsep ini juga mencerminkan hubungan yang harmonis antara Allah dan umat manusia, di mana manusia dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang mendalam dengan Tuhan. Melalui perichoresis, manusia dipersatukan dengan Allah dalam suatu kedekatan yang tidak terpisahkan, mengundang umat untuk turut serta dalam hidup ilahi dan mengalami kasih Allah yang tak terbatas.

Penderitaan ilahi adalah bentuk penderitaan yang aktif, yang menunjukkan kesediaan Allah untuk membuka diri terhadap rasa sakit sebagai bentuk kasih-Nya. Dalam pandangan ini, "mengasihi" berarti lebih dari sekadar memberikan cinta dalam kondisi aman, tetapi juga bersedia untuk menjadi rentan. Kerentanan ini adalah pintu bagi kemungkinan hadirnya penderitaan, karena kasih yang sejati tidak terlepas dari risiko mengalami kesakitan dan penderitaan. Allah, sebagai pencipta, memilih untuk membuka diri-Nya kepada penderitaan sebagai bentuk kasih-Nya yang tak terbatas.

Namun, penderitaan Allah tidak berasal dari keadaan kekurangan atau kelemahan seperti halnya dengan makhluk manusia. Penderitaan-Nya bukan karena Allah kekurangan atau tidak cukup dalam suatu aspek, melainkan dari kelimpahan ilahi-Nya. Kasih Allah yang begitu besar kepada umat manusia membuat-Nya rela mengalami penderitaan meskipun Dia dalam keadaan yang sempurna dan penuh. Penderitaan ini tidak berasal dari ketidakmampuan, melainkan dari pilihan bebas-Nya untuk berbagi dalam realitas penderitaan yang dihadapi umat manusia.

Keselamatan yang diperoleh melalui penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib menegaskan betapa pentingnya pengorbanan Allah bagi umat manusia. Penderitaan Kristus di salib bukanlah sebuah kejadian yang terpisah dari tujuan keselamatan, tetapi sebaliknya, melalui penderitaan itulah keselamatan dapat terwujud. Kebangkitan Kristus setelah kematian-Nya memberikan arti dan kedalaman pada penderitaan tersebut, menunjukkan bahwa penderitaan bukanlah akhir, melainkan bagian dari jalan menuju kemenangan dan kehidupan yang kekal.

Penderitaan ilahi ini juga menunjukkan bahwa penderitaan tidak bertentangan dengan keberadaan Tuhan. Meskipun dalam banyak pandangan, penderitaan seringkali dipahami sebagai bukti ketidakhadiran atau ketidakberdayaan Tuhan, kenyataannya, ada keberadaan Tuhan yang penuh dalam penderitaan itu sendiri. Dalam penderitaan, Allah justru lebih dekat kepada umat manusia, menunjukkan kasih-Nya yang tidak terbatas dan kemauan-Nya untuk merasakan apa yang dirasakan oleh ciptaan-Nya.

Penderitaan bukanlah sesuatu yang terpisah dari keberadaan Tuhan, melainkan sebuah bagian yang menyertai keberadaan-Nya. Dalam penderitaan-Nya, Allah menunjukkan kedalaman kasih dan kuasa-Nya yang tak terhingga. Penderitaan Allah adalah sebuah misteri yang membawa manusia untuk lebih memahami kasih-Nya yang besar, dan melalui itu, umat manusia dapat merasakan kehadiran-Nya yang mendalam dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam penderitaan.


Komentar