"Eklesiologi: Mewujudkan Universalitas, Persatuan, dan Kekudusan Gereja di Era Modern"
Sifat Gereja yang Satu dan Kudus
Eklesiologi, atau ilmu tentang Gereja, menekankan sifat-sifat penting yang dimiliki oleh Gereja. Pertama, Gereja bersifat universal, artinya Gereja mencakup semua umat manusia tanpa memandang ras, suku, atau latar belakang. Gereja dipandang sebagai tubuh universal yang terbuka untuk siapa saja yang ingin percaya dan beriman kepada Tuhan.
Selain itu, Gereja juga digambarkan sebagai "satu," yang berarti Gereja menyatukan semua umat beriman. Meskipun orang-orang berasal dari berbagai latar belakang dan golongan, mereka tetap bersatu dalam iman yang sama kepada Kristus. Persatuan ini adalah esensi dari Gereja yang membentuk satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala.
Gereja juga dikenal sebagai "kudus." Kekudusan ini bukan hanya tentang ketaatan terhadap ajaran agama, tetapi juga tentang menjalankan hidup yang berlandaskan teladan Kristus. Sebagai institusi religius, Gereja dipanggil untuk hadir di dunia dan menginspirasi umatnya untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Gereja di Zaman Modern
Di zaman modern ini, universalitas Gereja sering kali menghadapi tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah eksklusivitas dan diskriminasi yang masih sering muncul dalam kehidupan beragama. Ada banyak contoh di mana kelompok-kelompok tertentu merasa tidak diterima atau diasingkan dari Gereja karena perbedaan budaya, etnis, atau keyakinan. Hal ini menunjukkan bahwa sifat universal Gereja belum sepenuhnya terwujud dalam kehidupan nyata.
Persatuan Gereja juga menjadi permasalahan di tengah masyarakat yang semakin terpecah-pecah. Perpecahan dalam denominasi Kristen dan konflik antar-gereja sering kali memperlihatkan ketidaksepakatan yang mendalam, baik dalam hal doktrin maupun praktek. Perpecahan ini mengganggu gagasan bahwa Gereja adalah satu tubuh yang utuh, dengan Kristus sebagai kepala.
Kekudusan Gereja pun sering dipertanyakan, terutama ketika institusi gerejawi terlibat dalam skandal moral atau politik. Banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap Gereja sebagai institusi yang kudus karena tindakan beberapa pemimpinnya yang tidak mencerminkan ajaran Kristus. Hal ini menyebabkan krisis kepercayaan di antara umat, yang akhirnya merusak citra Gereja di masyarakat.
Gereja Universal
Meskipun Gereja secara teologis bersifat universal, dalam kenyataannya masih ada tantangan untuk mewujudkan inklusivitas tersebut. Universalitas yang diajarkan dalam eklesiologi seharusnya memampukan Gereja untuk menerima semua orang, namun di beberapa tempat, diskriminasi dan penolakan terhadap kelompok tertentu masih terjadi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Gereja untuk lebih terbuka dan inklusif, sesuai dengan sifat universalnya.
Persatuan yang diidealkan dalam Gereja sebagai satu tubuh Kristus juga sering terhambat oleh perpecahan internal. Seharusnya, Gereja menjadi tempat di mana semua umat beriman dapat bersatu dalam iman kepada Kristus, namun perpecahan antar denominasi dan konflik internal sering kali menunjukkan bahwa persatuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Gereja perlu terus berusaha untuk merangkul semua golongan agar visi kesatuan ini terwujud.
Di sisi lain, Gereja yang seharusnya kudus seringkali dinodai oleh skandal dan penyimpangan moral. Kekudusan yang diajarkan dalam eklesiologi menuntut Gereja untuk menjalankan ajaran Kristus dengan setia, tetapi ketika kepercayaan masyarakat terhadap Gereja terkikis, ini menjadi tanda bahwa ada ketidaksesuaian antara ajaran dan tindakan. Tantangan bagi Gereja adalah untuk memperbaiki citra ini dan membuktikan kembali kekudusannya melalui tindakan nyata.
Persatuan Hidup Gereja
Eklesiologi mengajarkan bahwa Gereja memiliki empat sifat utama, dua diantarany yaitu satu dan kudus. Ketiga sifat ini adalah fondasi teologis yang menjadi dasar bagi kehidupan beriman umat Kristen. Gereja dipanggil untuk bersifat inklusif, menyatukan umat beriman, dan hidup dalam kekudusan sebagaimana yang dicontohkan oleh Kristus.
Namun, dalam praktiknya, banyak tantangan yang dihadapi oleh Gereja. Diskriminasi, perpecahan, dan skandal moral adalah beberapa masalah nyata yang merusak idealisme eklesiologi tersebut. Gereja perlu berbenah dan berusaha lebih keras untuk mewujudkan sifat universal, persatuan, dan kekudusan yang diajarkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai visi ini, Gereja harus terus mengembangkan dialog inklusif, menyembuhkan perpecahan, dan memperbaiki citranya di tengah masyarakat. Hanya dengan demikian, Gereja dapat sepenuhnya menjadi perwujudan dari apa yang diajarkan dalam eklesiologi: sebuah institusi yang universal, bersatu, dan kudus, yang hadir untuk membimbing umat manusia menuju jalan Kristus.
Pertemuan III Eklesiologi - 24 September 2024
Komentar
Posting Komentar