Madah “Magnificat” Gereja yang Berziarah
Ketika Elisabet menyapa Maria sebagai “yang terberkati” karena imannya, Maria menanggapi dengan Magnificat yang mengungkapkan pengalaman imannya secara mendalam. Dalam nyanyian ini, Maria menjadi figur utama penerima wahyu Allah dan secara aktif meresponsnya dengan penuh kegembiraan dan kepercayaan. Magnificat mengandung gema dari banyak teks Perjanjian Lama, yang mencerminkan penggenapan janji-janji Allah dalam diri Maria. Dengan madah ini, Maria mengakui bahwa rencana keselamatan Allah kini sedang digenapi dalam dirinya sebagai Bunda Sang Penebus. Ia berada di pusat wahyu dan keselamatan. Dalam Magnificat, Maria tampil sebagai “Eva Baru” yang menyatakan kebenaran tentang Allah, berbeda dari ketidakpercayaan Hawa. Ia mengakui Allah sebagai sumber segala anugerah dan penebusan. Dalam hal ini, Maria menjadi pribadi pertama yang mengalami pembebasan sejati dan menjadi teladan bagi seluruh Gereja. Madah Maria berbicara mengenai keadilan sosial: Allah meninggikan yang rendah dan merendahkan yang congkak. Magnificat menunjukkan bahwa Allah berpihak kepada yang miskin dan tertindas. Gereja, mengikuti madah ini, diingatkan akan misinya untuk mengutamakan orang miskin sebagai bagian dari pewartaan Injil.
Maria sebagai pribadi yang seluruhnya mengarahkan diri pada Allah, menjadi simbol sempurna dari kebebasan dan pembebasan manusia. Dalam Magnificat, Gereja melihat bagaimana Maria menjadi gambar dari kebebasan Kristen sejati, yang bersumber dari penyerahan diri pada kehendak Allah. Gereja modern terus mengulang kata-kata Magnificat sebagai refleksi atas realitas sosial dan spiritual zaman ini. Dalam dunia yang kacau, Magnificat menegaskan kembali bahwa Allah yang menyelamatkan adalah Allah yang setia pada janji-Nya dan berpihak kepada yang lemah. Dengan demikian, Gereja menemukan harapan baru dan arah perutusannya melalui madah Maria ini.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Maria, Bunda Yesus, tetap perawan sebelum, saat, dan sesudah melahirkan. Dogma ini dikenal sebagai Perpetua Virginitas Mariae, yang berarti keperawanan Maria yang kekal. Artinya, Maria mengandung Yesus secara adikodrati melalui kuasa Roh Kudus, melahirkan-Nya tanpa merusak keperawanannya, dan tidak memiliki anak lain sepanjang hidupnya. Keperawanan Maria sebelum melahirkan ditegaskan dalam Injil Lukas 1:34, saat ia berkata kepada malaikat Gabriel: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" Pernyataan ini menunjukkan bahwa Maria memiliki niat untuk hidup selibat demi Allah, dan kehamilannya terjadi bukan karena hubungan manusiawi, tetapi karena karya Roh Kudus.
Gereja mengimani bahwa kelahiran Yesus tidak merusak keperawanan Maria. Ini adalah misteri iman yang tidak dapat dijelaskan secara medis, namun diyakini sebagai tindakan adikodrati. Santo Agustinus dan Santo Sirilus dari Alexandria mengajarkan bahwa sebagaimana Kristus bangkit dari makam tanpa merusaknya, demikian juga Ia keluar dari rahim Maria tanpa melukai keperawanannya. Setelah kelahiran Yesus, Maria tetap perawan. Meskipun Injil Matius 1:25 menyatakan bahwa Yusuf "tidak bersetubuh dengan Maria sampai ia melahirkan seorang anak laki-laki", istilah "sampai" dalam konteks Alkitab tidak mengindikasikan bahwa hubungan suami istri terjadi kemudian. Dalam tradisi Ibrani, kata tersebut menekankan apa yang terjadi sebelumnya, tanpa menyatakan perubahan sesudahnya.
Beberapa orang menafsirkan bahwa Yesus memiliki saudara kandung, tetapi Gereja menjelaskan bahwa istilah "saudara" dalam bahasa Aram (dan Yunani: adelphoi) juga digunakan untuk sepupu atau kerabat dekat. Bahasa Ibrani dan Aram tidak membedakan secara tegas antara saudara kandung dan kerabat lainnya, sehingga istilah tersebut tidak menyangkal keperawanan Maria yang berkelanjutan. Sejak awal abad-abad pertama, para Bapa Gereja telah membela keperawanan Maria. Santo Ignatius dari Antiokhia (abad ke-2) dan Santo Ireneus menyebut Maria sebagai perawan sejati yang melahirkan Sang Penebus. Konsili Lateran tahun 649 di bawah Paus Martinus I secara resmi menyatakan kepercayaan ini sebagai bagian dari ajaran iman Gereja universal.
Katekismus Gereja Katolik (KGK 499) menegaskan bahwa Maria "tetap perawan secara nyata dan utuh, bahkan dalam kelahiran Puteranya." Hal ini menjadi bagian integral dari iman Katolik, bukan hanya menyangkut aspek fisik, tetapi lebih dalam lagi: menyangkut totalitas penyerahan diri Maria kepada Allah dalam tubuh dan jiwa. Keperawanan Maria bukan hanya fakta biologis, tetapi memiliki makna teologis yang mendalam. Ia adalah simbol kesetiaan Gereja kepada Kristus dan menjadi lambang kemurnian spiritual. Keperawanannya juga menegaskan bahwa Yesus adalah Putera Allah sejati, bukan hasil kehendak manusia, melainkan karunia dari Allah sendiri. Dogma keperawanan Maria menjadi bagian dari pengakuan iman yang memperkaya penghayatan akan misteri Inkarnasi. Dalam Maria, Gereja melihat gambaran dirinya sebagai perawan dan ibu: perawan dalam kesetiaan dan kemurnian imannya, ibu dalam melahirkan umat baru bagi Allah. Dengan meneladani Maria, umat diajak untuk hidup dalam penyerahan total kepada kehendak Allah.
Dalam Injil Matius, Yusuf menerima wahyu dari malaikat agar tidak menceraikan Maria, karena kandungannya berasal dari Roh Kudus (Mat. 1:20). Dengan sikap iman yang luar biasa, Yusuf menerima Maria dan anak yang dikandungnya sebagai amanah Allah. Ia menjadi pelindung utama bagi Maria yang sedang mengandung dan bagi Yesus yang baru lahir, terutama ketika harus membawa mereka mengungsi ke Mesir untuk menyelamatkan Yesus dari ancaman Herodes. Santo Yusuf adalah figur yang sangat taat. Ia menerima petunjuk Tuhan melalui mimpi tanpa banyak bicara, namun selalu langsung bertindak. Ini menunjukkan imannya yang dewasa dan kokoh. Yusuf bukan hanya simbol ketaatan formal, tetapi juga figur dari seorang pria yang mendengarkan dan bertindak dalam kesetiaan penuh terhadap Allah. Ia menjadi teladan bagi semua ayah dan kepala keluarga Kristiani.
Sebagai seorang tukang kayu, Yusuf bekerja dengan tangan sendiri untuk menafkahi keluarganya. Ia menunjukkan bahwa pekerjaan sehari-hari pun dapat menjadi sarana pengudusan. Melalui kerja kerasnya, Yusuf menyediakan kebutuhan hidup Yesus dan Maria. Dalam dirinya, tampak martabat kerja dan kasih seorang ayah yang tidak banyak bicara tetapi sangat bertindak. Meskipun Yesus adalah Putera Allah, Yusuf mengambil peran sebagai ayah duniawi-Nya. Ia mengajarkan Yesus tentang kehidupan, doa, dan nilai-nilai iman Yahudi. Dalam keluarga itulah Yesus "bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya" (Luk. 2:40). Peran Yusuf sebagai pendidik tidak boleh diremehkan, karena ia memberi fondasi manusiawi bagi perkembangan Yesus.
Santo Yusuf juga menjadi lambang kehadiran Allah Bapa di tengah keluarga. Dalam keheningan dan kasih setianya, ia mencerminkan kasih Allah yang tersembunyi namun nyata. Ia tidak tercatat mengucapkan satu kata pun dalam Kitab Suci, tetapi tindakannya penuh makna dan kasih. Dalam tradisi Gereja, Yusuf dihormati sebagai ikon kebapaan sejati. Keluarga Kudus, dengan Yusuf sebagai kepalanya, menjadi model bagi keluarga-keluarga Katolik saat ini. Yusuf mengajarkan nilai kesetiaan dalam pernikahan, tanggung jawab dalam mendidik anak, dan ketaatan kepada Allah dalam setiap keputusan. Dalam dunia yang penuh tantangan, Yusuf tetap menjadi teladan yang hidup dan relevan.
Komentar
Posting Komentar