DOGMA MARIA BUNDA ALLAH


    Pada abad ke-3 dan ke-4, para teolog Gereja mula-mula mulai mengakui dan membela penggunaan gelar "Maria Bunda Allah" (Theotokos) sebagai suatu pengakuan yang tepat atas realitas teologis Yesus Kristus. Gelar ini bukan hanya soal devosi kepada Maria, tetapi menyangkut pemahaman mendalam akan pribadi Kristus yang memiliki dua kodrat: Ilahi dan insani. Gelar Theotokos menyatakan bahwa Maria melahirkan pribadi yang sungguh Allah dan sungguh manusia, bukan hanya “tubuh manusia” Yesus belaka. Dasar utama pengakuan ini adalah doktrin yang disebut communication idiomatum, atau “pertukaran sifat”. Artinya, karena Yesus adalah satu pribadi dengan dua kodrat, maka sifat-sifat dari kedua kodrat itu dapat dilekatkan kepada pribadi yang satu ini. Dengan demikian, meskipun keilahian tidak bisa mati, kita dapat mengatakan bahwa Anak Allah mati di kayu salib, karena pribadi yang satu itu mengalami kematian melalui kodrat insani-Nya.

    Kesatuan pribadi Kristus menjadi kunci utama bagi pemahaman ini. Pribadi yang satu memiliki sifat-sifat Ilahi seperti kekal dan mahakuasa, sekaligus sifat-sifat manusiawi seperti lapar, lelah, dan bisa mati. Karena itu, meskipun tindakan seperti lahir, menderita, dan mati sesuai dengan kodrat manusia, tindakan itu tetap bisa dikatakan sebagai tindakan pribadi Ilahi, yaitu Putra Allah. Konsekuensinya, Maria disebut Bunda Allah bukan karena ia melahirkan keilahian, tetapi karena ia melahirkan pribadi Yesus yang adalah Allah sendiri. Dengan kata lain, gelar tersebut tidak menempatkan Maria di atas Allah, melainkan menegaskan bahwa pribadi Yesus yang dilahirkannya adalah sungguh Allah. Penolakan terhadap gelar ini akan berujung pada perpecahan pribadi Kristus, seolah-olah Ia dua pribadi yang terpisah. Itulah sebabnya Konsili Efesus tahun 431 menegaskan gelar Theotokos sebagai dogma iman. Menolak Maria sebagai Bunda Allah sama saja dengan menolak bahwa Yesus adalah satu pribadi yang memiliki dua kodrat. Kesatuan ini tidak boleh dikaburkan oleh pembagian ekstrem yang memisahkan keilahian dan kemanusiaan Kristus secara mutlak. Sebagai contoh, dikatakan bahwa Anak Allah bisa mati di kayu salib. Pernyataan ini sah karena walaupun yang mati adalah kodrat insani, pribadi yang menjalaninya adalah pribadi Ilahi. Sebaliknya, tidak bisa dikatakan bahwa kodrat Ilahi mati, karena kodrat tidak bertindak sendiri yang bertindak adalah pribadi.

    Ajaran ini menjadi sangat penting dalam Kristologi karena menjamin bahwa penebusan manusia sungguh-sungguh dilakukan oleh Allah sendiri dalam rupa manusia. Jika Yesus hanya manusia biasa, maka karya penebusannya tidak memiliki nilai kekal. Jika hanya Allah tanpa sungguh menjadi manusia, maka Ia tidak benar-benar mewakili umat manusia. Hanya dengan kesatuan ini, karya keselamatan menjadi sah dan efektif. Penggunaan gelar “Maria Bunda Allah” tidak hanya tepat, tetapi juga perlu untuk menjaga iman akan Yesus Kristus yang sejati. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap misteri inkarnasi yang dalam: bahwa Sang Sabda telah menjadi daging, dan Maria dipilih sebagai ibu dari pribadi yang adalah Allah itu sendiri.

    Pernyataan St. Ignatius dari Antiokhia merupakan penegasan awal yang sangat penting dalam sejarah teologi Kristiani, khususnya dalam melawan ajaran sesat doketisme. Doketisme mengajarkan bahwa Yesus hanya "tampak" menjadi manusia, namun sebenarnya tidak memiliki tubuh manusia yang sejati. Dalam menghadapi ajaran ini, Ignatius menekankan bahwa Kristus sungguh-sungguh dikandung dalam rahim Maria, dari keturunan Daud dan oleh kuasa Roh Kudus. Ini adalah bentuk pengakuan iman bahwa inkarnasi bukanlah ilusi atau simbolis, tetapi sungguh nyata, konkret, dan historis.

    Dengan mengatakan bahwa Yesus berasal dari rahim Maria, Ignatius secara tegas menolak pandangan bahwa tubuh Yesus hanya semu atau tidak nyata. Tubuh Yesus bukan sekadar “penampakan” dari Allah, melainkan tubuh sejati yang lahir dari seorang perempuan, mengalami proses kehamilan, kelahiran, pertumbuhan, dan pada akhirnya penderitaan serta kematian. Maria dalam hal ini bukan hanya simbol atau alat, melainkan sungguh-sungguh ibu dari Yesus yang manusia dan Allah. Ia memberikan kepada Kristus kodrat manusiawi yang nyata: daging, tulang, dan darah. Namun, di saat yang sama, Ignatius juga menjaga keseimbangan bahwa Yesus tidak hanya manusia biasa. Ia juga menegaskan bahwa Yesus berasal "dari Tuhan" dan dikandung oleh kuasa Roh Kudus, bukan dari kehendak manusia. Maka, dari sisi ini, Yesus bersifat ilahi secara kodrati. Kombinasi ini Ilahi dan manusiawi terjadi dalam satu pribadi, yaitu Yesus Kristus. Dan rahim Maria menjadi tempat kudus di mana dua kodrat ini bertemu dalam kesatuan pribadi.

    Maria tidak hanya penting dalam narasi keselamatan sebagai ibu Yesus, tetapi juga menjadi bukti konkret bahwa Allah benar-benar masuk ke dalam sejarah manusia secara fisik dan nyata. Rahim Maria adalah jembatan inkarnasi, di mana Sang Sabda menjadi daging. Di sinilah letak kekuatan iman Kristiani terhadap misteri inkarnasi: bahwa yang kekal dan transenden rela menjelma melalui pengalaman paling manusiawi lahir dari seorang ibu. Ignatius menunjukkan bahwa iman akan kemanusiaan sejati Kristus bukanlah isu pinggiran, melainkan hal mendasar. Jika Kristus tidak sungguh menjadi manusia, maka penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya kehilangan makna penyelamatan. Maka, pengakuan akan Maria sebagai ibu sejati dari Yesus Kristus bukan sekadar mariologi, tetapi juga merupakan bagian integral dari Kristologi.

    St. Ireneus dari Lyon, salah satu Bapa Gereja besar pada akhir abad ke-2, memberikan kontribusi penting dalam memahami peran Maria dalam sejarah keselamatan. Ia melihat Maria bukan hanya sebagai sosok pasif dalam narasi inkarnasi, melainkan sebagai pribadi yang berpartisipasi aktif dalam karya penyelamatan Allah. Dalam pengajarannya, Ireneus menegaskan bahwa Maria adalah perawan yang melahirkan Kristus, dan melalui rahimnya yang suci, Kristus membuka lembaran baru dalam sejarah umat manusia. Dalam terang ajaran Ireneus, inkarnasi Kristus dalam rahim Maria menjadi titik balik sejarah, di mana Allah bukan hanya hadir secara simbolik, tetapi sungguh-sungguh mengambil bagian dalam keberadaan manusia. Inkarnasi ini menjadi jembatan antara ilahi dan insani, dan Maria menjadi tempat pertemuan yang kudus itu. Maka, rahim Maria bukan hanya ruang biologis kelahiran, tetapi juga ruang teologis, tempat di mana Allah memberikan keilahian kepada manusia melalui Sang Sabda yang menjadi daging.

    Ireneus juga melihat Maria sebagai "Hawa yang baru", sebuah paralel yang kuat dengan tokoh Hawa dalam Kitab Kejadian. Jika Hawa, melalui ketidaktaatannya, menjadi awal kerusakan umat manusia, maka Maria, melalui ketaatannya kepada kehendak Allah, membuka jalan pemulihan. Dalam Maria, kekudusan awal yang hilang karena dosa dipulihkan. Ia menjadi gambaran dari umat yang taat, umat yang terbuka terhadap karya keselamatan Tuhan. Lebih dari itu, Ireneus menyatakan bahwa Maria berpartisipasi dalam karya keselamatan universal, bukan dengan cara yang sama seperti Kristus, tetapi sebagai sarana yang Allah pilih untuk menjelmakan Putra-Nya. Rahim Maria menjadi sumber abadi kelahiran kembali, karena dari sanalah Kristus datang membawa keselamatan bagi siapa saja yang beriman dan menerima-Nya sebagai Emanuel, "Allah beserta kita". Maka, peran Maria dalam teologi Ireneus bukanlah tambahan, tetapi esensial dalam keseluruhan misteri penyelamatan. Ia bukan hanya ibu biologis Yesus, tetapi juga simbol Gereja yang melahirkan Kristus bagi dunia. Dari rahimnya, hidup baru dimungkinkan. Dari ketaatannya, harapan umat manusia diperbarui.

    Dalam budaya Alexandria (Mesir), sejak awal abad pertama, penggunaan gelar untuk tokoh-tokoh ilahi sudah menjadi bagian dari tradisi keagamaan mereka. Dewa dan dewi sering disebut sebagai theotokos atau mater theion, yang secara harfiah berarti “ibu dari yang ilahi”. Namun, gelar ini dalam konteks mitologi Yunani sering dikaitkan dengan kelahiran makhluk-makhluk setengah dewa atau setengah manusia—hasil dari persatuan antara dewa dan manusia yang tidak setara. Dalam pengertian ini, keilahian dan kemanusiaan dipahami secara campuran atau terbatas, dan tidak ada konsep kesatuan pribadi seperti dalam iman Kristiani. Sementara itu, dalam tradisi Kristiani, khususnya yang berkembang di Alexandria, penggunaan gelar Theotokos (dalam bahasa Latin: Dei Genitrix, artinya “pengandung Allah”) juga mulai dikenal, sebagaimana dibuktikan dalam beberapa teks papiros dari akhir abad ke-3. Sebutan ini menjadi semakin umum dalam komunitas Kristen sebagai bentuk pengakuan iman akan siapa Yesus sebenarnya: bukan hanya nabi atau guru, tetapi sungguh Anak Allah yang menjadi manusia. Maka, Maria disebut Theotokos karena ia melahirkan pribadi Yesus Kristus, yang adalah Allah sejati sekaligus manusia sejati.

    Namun, penting ditekankan bahwa pemahaman umat Kristiani terhadap gelar Theotokos sangat berbeda dari pemahaman mitologis Yunani. Dalam iman Kristiani, Maria tidak melahirkan makhluk setengah Allah dan setengah manusia, tetapi melahirkan satu pribadi yang utuh, yaitu Yesus Kristus, yang memiliki dua kodrat—kodrat Ilahi dan kodrat insani—yang tidak bercampur, tidak berubah, tetapi bersatu dalam satu pribadi. Ini yang dikenal dengan istilah kesatuan hipostatik. Dengan demikian, Maria disebut Bunda Allah bukan karena ia asal-usul keilahian Kristus, tetapi karena ia adalah ibu dari pribadi Yesus Kristus yang sungguh-sungguh adalah Allah. Gelar ini tidak mengangkat Maria menjadi dewi atau tokoh mitologis, melainkan menegaskan keunikan perannya dalam sejarah keselamatan: sebagai perantara inkarnasi, tempat di mana Sabda Allah menjadi manusia (inkarnasi = in carne = masuk ke dalam daging). Oleh karena itu, penyebutan Maria sebagai Theotokos adalah penegasan iman yang dalam terhadap misteri inkarnasi—bahwa Allah tidak hanya tinggal di surga, tetapi sungguh-sungguh turun ke dunia, menjadi manusia melalui rahim seorang perempuan, dan perempuan itu adalah Maria.

Komentar